Friday, June 10, 2011

TEORI-TEORI BELAJAR KELOMPOK PSIKOLOGI BEHAVIORAL DAN IMPLIKASINYA DALAM BELAJAR DAN PEMBELAJARAN CLASSICAL CONDITIONING THEORY S.R (CONNECTIONIST)


A. CLASSICAL CONDITIONING THEORY S-R (CONNECTIONS)

Theory Classical Conditioning (kebiasaan klasik) dipelopori oleh Ivan Pavlov (1949-1936). Ivan Pavlov memenangkan hadiah nobel pada tahun 1904 berdasarkan hasil karyanya yang terkenal percobaan dengan seekor anjing .

Pada dasarnya classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut. Kata classical yang mengawali nama teori ini semata-mata dipakai untuk menghargai karya Pavlov yang dianggap paling dahulu di bidang konditioning (upaya pembiasaan) dan untuk membedakannya dari teori conditioning lainnya. Selanjutnya, mungkin karena fungsinya, teori Pavlov ini juga dapat disebut respondent conditioning (pembiasaan yang dituntut).

Dalam eksperimennya, Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui hubungan-hubungan antara conditioned stimulus (CS), unconditioned stimulus (UCS), contioned respons (CR), dan unconditioned response (UCR).

CS adalah rangsangan yang mampu mendatangkan respons yang dipelajari, sedangkan respons yang dipelajari itu sendiri disebut CR. Adapun UCS berarti rangsangan yang menimbulkan respons yang tidak dipelajari, dan respons yang dipelajari itu disebut UCR.

Anjing percobaan itu mula-mula diikat sedemikian rupa dan pada salah satu kelenjer air liurnya diberi alat penampung cairan yang dihubungkan dengan pipa kecil (tube). Perlu diketahui bahwa sebelum dilatih (dikenai eksperimen) secara alami anjing itu selalu mengeluarkan air liur setiap kali mulutnya berisi makanan. ketika bel dibunyikan secara alami anjing itu menunjukkan reaksinya yang relevan, yakni tidak mengeluarkan air liur.

B. CONNECTIONISM (KONEKSIONISME).

Teori koneksionisme (connectionism) adalah teori yang dikemukakan oleh L. Thorndike (1974-1949) berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen Thorndike ini mengemukakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar.. Seekor kucing yang lapar ditempatkan dalam sangkar berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut. Peralatan ini ditata sedemikianrupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memperoleh makanan yang tersedia di depan sangkar tadi.

Keadaan bagian dalam sangkar yang disebut puzzle box (peti teka-teki) itu merupakan situasi stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi untuk melepaskan diri dan memperoleh makanan yang ada di muka pintu. Mula-mula kucing eksionisme tersebut mengeong, mencakar, melompat dan berlari-larian, namun gagal membuka pintu untuk memperoleh makanan yang ada didepannya. Akhirnya entah bagaimana, secara kebetulan kucing itu berhasil menekan pengungkit dan terbukalah pintu sangkar tersebut. Eksperimen puzzle box ini kemudian terkenal dengan nama instrumental conditioning. Artinya tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai instrumrntal (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki. (Hintman, 1978).

Berdasarkan eksperimen diatas thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respons. Itulah sebabnya teori koneksionisme juga disebut “S-R Bond Theory” dan “S-R Psychology of learning”. Istilah ini menunjukkan pada panjang nya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan.(Hilgard dan Bower dalam Muhibbinsyah,2005: 93) .Apabila kita perhatikan secara saksama, dalam eksperimen Thorndike tadi akan kita dapati dua hal pokok yang mendorong tumbuhnya fenomena belajar.

Pertama, keadaan kucing yang lapar, seandainya kucing itu kenyang, sudah tentu tak akan berusaha keras untuk keluar. Bahkan, barangkali ia akan tidur saja dalam puzzle box yang mengurungnya. Dengan kata lain, kucing itu tidak akan menampakkan gejala belajar untuk keluar. Sehubungan dengan hal ini hampir dapat dipastikan bahwa motivasi (seperti rasa lapar) merupakan hal yang sangat vital dalam belajar.

Kedua, tersedianya makanan di muka pintu puzzle box. Makanan ini merupakan efek positif atau memuaskan yang dicapai oleh respons dan kemudian menjadi dasar timbulnya hukum belajar yang disebut law of effect . artinya jika sebuah respon menghasilkan efek yang memuaskan, hubungan antara stimulus dan respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan (mengganggu) efek yang dicapai respons , semakin lemah pula hubungan stimulus dan respons tersebut. Hukum belajar inilah yang mengilhami munculnya konsep reinforcer dalam teori operant teori conditioning hasil penemuan B.F. Skinner.

Di samping law of effect Thorndike juga mengemukakan dua macam hukum lain tambahan kajian dan perbandingan. Pertama, Law of readness (hukum kesiap siagaan) pada prinsipnya hanya merupakan asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pendayagunaan conduction units (satuan perantaraan). Unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Jelas hukum ini bersifat spekulatif dan menurut Reber (1988) hanya bersifat historis. Kedua, Law of exerecise (hukum latihan) ialah generalisasi atas law of use dan law of disuse. Menurut Hilgar dan Bower dalam Muhibbin Syah (2003). Jika perilaku (perubahan hasil belajar) sering dilatih atau digunakan maka eksistensi perilaku tersebut akan semakin kuat (law of use) sebaliknya, jika perilaku tidak sering dilatih atau tidak digunakan maka ia akan terlupakan atau sekurang-kurangnya akan menurun (law of disuse).

C. TEORI OPERAN CONDITIONING

Teori ini dikembangkan oleh B.F Skinner. Menurut Skinner tingkah laku bukanlah sekedar respons terhadap Stimulus, tetapi suatu tindakan yang disengaja atau operan; Operan ini dipengaruhi oleh apa yang terjadi sesudahnya. Jadi operant conditioning, atau operan Learning, itu melibatkan pengendalian kosekwensi (Consequences). (Mahmud,1990:123).

Tingkah laku ialah perbuatan yang dilakukan seseorang pada situasi tertentu. Tingkah laku ini terletak di antara dua pengaruh yaitu pengaruh yang mendahuluinya (antecedent) dan pengaruh yang mengikutinya (konsekuensi) hal ini dapat dilukiskan sebagai berikut :

Antecedent ---- tingkah laku --- konsekuensi

Atau A -------------------- B ---------------- C

Dengan demikian tingkah laku itu dapat diubah dengan cara mengubah antecedent, konsekuensi atau kedua-duanya. Menurut skinner konsekuensi itu sangat menentukan apakah seseorang akan mengulangi suatu tingkah laku pada saat lain diwaktu yang akan datang.

Skinner terkenal dengan pengembangan dan penggunaan aparat yang biasa disebut kotak skinner. Dengan kotak ini ia meneliti perilaku hewan, biasanya tikus dan burung merpati. Pekerjaan skinner dengan tikus dan burung merpati menghasilkan sekumpulan prinsip-prinsip tentang perilaku yang telah ditunjang oleh beratus-ratus studi yang melibatkan manusia maupun hewan.

Mengendalikan konsekuensi

Konsekuensi yang timbul dari tingkah laku tertentu dapat menyenangkan ataupun tidak menyenangkan bagi yang bersangkutan. Bermacam-macam penjatahan waktu bagi konsekuensi dapat juga berpengaruh terhadap yang bersangkutan. Ada dua hal yang perlu disinggung sehubungan dengan pengendalian konsekuensi ini, yaitu reinforcement dan hukuman.

1. Reinforcement

Dalam pergaulan sehari-hari, reinforcement diatikan “hadiah”. Tetapi dalam dunia psikologi, reinforcement mempunyai arti lebi khusus. Reinforcement adalah satu tipe konsekuensi. Efek dari konsekuensi itu menentukan apakah konsekuensi itu memberi reinforcemen atau tidak. Setiap konsekuensi itu adalah pemberi reinforcement (reinforcer) kalau dia memperkuat tingkah laku berikutnya. Tingkah laku-tingkah laku yang diikuti dengan reinforcement akan diulang-ulang diwaktu yang akan datang. Singkatnya reinforcement adalah konsekuensi yang memperkuat tingkah laku.

Reinforcement itu ada dua mcam, yaitu reinforcement psitif dan negatif..

a. Reinforcement Positif.

Disebut reinforcemen positif apabila suatu stimulus tertentu (biasanya yang mengenyangkan) ditunjukkan atau diberikan sesuadah suatu perbuatan dilakukan. Misalnya uang atau pujian diberikan kepada seorang anak yang memperoleh nilai A pada mata pelajaran tertentu; atau murid-murid pada tertawa kegirangan, ketika seorang temannya yang suka melucu menjawab pertanyaan secara berseloroh ketika pelajaran sejarah berlansung.

b. Reinforcement negatif

Dinamakan reinforcement negatif, apabila suatu stimulus tertentu (yang tidak menyenangkan) ditolak atau dihindari. Dengan perkataan lain, reinforcemen negatif itu memperkuat memperkuat tingkah laku dengan cara menghindari stimulus yang tidak menyenangkan. Kalau suatu perbuatan tertentu menyebabkan seorang menghindari sesuatu yang tidak menyenangkan, yang bersangkutan cenderung mengulangi perbuatan yang sama, apabila pada suatu saat menghadapi situasi yang serupa. Kalau kita tilik kembali contoh tentang murid yang berulangkali dipanggil menghadap kepala sekolah, tadi pelanggaran disiplin yang dilakukannya itu menjadi bertambah kuat karena dia tetap saja melakukannya.

2. Hukuman

Reinforcemen negatif sering dikacaukan dengan hukuman. Proses reinforcement (positit atau negatif) selalu berupaya memperkuat tingkah laku. Sebaliknya hukuman mengandung pengurangan atau penekanan tingkah laku. Suatu perbuatan yang diikuti oleh hukuman, kecil kemungkinannya diulang lagi pada situasi-situasi yang serupa di saat

Hukuman dibedakan menjadi dua macam yaitu : presentation punishment dan removal punishment.

a. Presentation punishment

Presentation punishment terjadi apabila stimulus yang tidak menyenangkan ditunjukkan atau diberikan; misalnya guru memberikan tugas-tugas tambahan karena kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh murid-muridnya.

b. Removal punishment

Removal punishment terjadi apabila stimulus yang tidak ditunjukkan atau diberikan, artinya menghilangkan sesuatu yang menyenangkan atau diinginkan. Contoh anak tidak diperkenalkan nonton televisi selama seminggu karena kalau tidak mau belajar.

Dalam teori Operant Conditionong prosedur pembentukan tingkah laku adalah sebagai berikut:

  1. Mengidentifikasi hal-al yang merupakan reinforcer (hadiah) bagi tingkah laku yang akan dibentuk.
  2. Menganalisis dan mengidentifikasi komponen kecil yang memembentuk tingkah laku dimaksud, kemudian komponen-komponen tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju pembentukan tingkah laku yang dimaksud.
  3. Urutan komponen tersebut sebagai tujuan sementara, dengan mengidentifikasi reinforcer (hadiah) untuk masing-masing komponen itu.
  4. Melakukan pembentukan tingkah laku, dengan menggunakan urutan komponen yang telah disusun. (Djaali, 2007:89).

D. IMPLIKASI TEORI BELAJAR KELOMPOK BEHAVIORISTIK DALAM BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

Dalam pengajaran, operant conditioning menjamin respons terhadap stimuli. Apabila murid tidak menunjukkan reaksi-reaksi terhadap stimuli, guru tak mungkin dapat membimbing tingkah lakunya ke arah tujuan behavior. Guru berperan penting di dalam kelas untuk mengontrol dan mengarahkan kegiatan belajar ke arah tercapainya tujuan yang telah dirumuskan.

Prosedur –prosedur pengendalian atau perbaikan tingkah laku.

  1. Memperkuat tingkah laku bersaing.

Dalam usaha mengubah tingkah laku yang tak diinginkan, diadakan penguatan tingkah laku yang diinginkan. Misalnya dengan kegiatan-kegiatan kerjasama, membaca, dan bekerja di satu meja untuk mengatasi kelakuan-kelakuan menentang, melamun dan hilir mudik.

  1. Ekstingsi

Ekstingsi dilakukan dengan membuang atau meniadakan peristiwa-peristiwa penguat tingkah laku. Ekstingsi dapat dipakai bersama-sama dengan metode lain seperti modeling dan social rteinforcement.

Guru-guru sering mengalami kesulitan mengadakan ekstingsi karena mereka harus belajar mengabaikan “mis – behaviors” tertentu. Tentu saja ada jenis –jenis tingkah laku yang tak dapat diabaikan oleh guru-guru terutama tingkah laku yang menyinggung perasaan murid-murid.

Ekstingsi berlangsung terutama jika reinforcement adalah perhatian. Apabila murid memperhatikan kesana kemari, maka perubahan interaksi guru-guru murid akan menghentikan tingkah laku murid tersebut.

  1. Satiasi

Satiasi adalah suatu prosedur menyuruh seseorang melakukan perbuatan berulang-ulang sehingga ia menjadi lelah atau jera. .Contoh : seorang guru yang memergoki siswanya sedang merokok, maka guru itu menyuruh anak tersebut merokok sampai habis satu pak seingga anak itu bosan dan tidak mau lagi merokok.

4. Perubahan Lingkungan stimuli

Beberapa tingkah laku dapat dikendalikan oleh perubahan kondisi stimulus yang mempengaruhi tingkah laku itu. Jika murid terganggu oleh suara gaduh di luar kelas, ketukan jendela dapat menghentikan gangguan itu. Jika suatu tugas sulit yang bisa mengecewakan murid, maka guru dapat mengganti dengan tugas yang kurang begitu sulit, jika di kelas ada dua orang murid yang termenung saja, guru dapat menghampiri atau duduk di dekat mereka..

5. Hukuman.

Untuk memperbaiki tingkah laku, hukuman hendaknya diterapkan di kelas dengan bijaksana. Hukuman dapat mengatasi tingkah laku yang tak diinginkan dalam waktu singkat. Untuk itu perlu disertai dengan reinforcement. Hukuman

menunjukkan apa yang tak boleh dilakukan murid, sedangkan riward menunjukkan apa yang mesti dilakukan oleh murid.

Implikasi teori operant conditioning

1. Pengajaran terprogram

Pengajaran terprogram adalah menerapkan proinsip-prinsip “Operant Conditioning” bagi belajar manusia di sekolah. Pengajaran in berlangsung seperti halnya paket pengajaran diri sendiri yang menyajikan suatu topik yang disusun secara cermat untuk dipelajari dan dikerjakan oleh murid. Tiap –tiap pekerjaan murid langsung diberi “feedback

Program dapat tertuang dalam buku-buku, mesin-mesin mengajar atau komputer (Computer Asisted Instruction).

Pengajaran terprogram berusaha memajukan belajar dengan:

1. Merinci bahan pengajaran menjadi unit-unit kecil.

2. Menyuruh murid mereaksi unit-unit kecil itu

3. Memberi tahukan hasil belajar secara langsung, dan

4. Memberi kesempatan untuk bekerja sendiri.

Pengajaran terprogram yang dikembangkan oleh Skinner adalah Program linear yaitu : Penyusunan program menentukan urutan-urutan kegiatan murid untuk menyelesaikan program. Tiap bagian program berisi perincian kecil pengetahuan.

2.. Analisa Tugas.

Komponen-komponen pengajaran penting menurut pandangan behavioristik adalah kebutuhan akan:

a. Perumusan tugas atau tujuan belajar secara behavioral.

b. Membagi “task” menjadi “subtask”

c. Menentukan hubungan dan aturan logis antara “subtask”

d. Menetapkan bahan dan prosedur mengajar tiap-tiap subtask

e. Memberi feedback pada setiap penyelesaian subtask atau tujuan-tujuan terminal.

Salah satu fungsi guru yang terpenting setelah ia menentukan tujuan ialah menganalisa tugas (langkah 2 dan 3) di atas. Analisa tugas akan membantu guru dalam membimbing murid.

E. Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Psikologi pendidikan penting dipahami dan dipelajari oleh seorang pendidik. Kita melihat kenyataan bahwa dunia pendidikan dalam praktek, masih banyak dijumpai guru-guru yang beranggapan bahwa pekerjaan mereka tidak lebih dari menumpahkan air kedalam botol kosong. Guru yang benar-benar dapat berhasil adalah guru yang menyadari bahwa dia mengajarkan sesuatu kepada manusia yang berharga dan berkembang. Untuk itu guru hendaknya memahami tentang tingkah laku anak didik, karena itu salah satu teori belajar yang perlu dipahami adalah Teori Behavioral.

DAFTAR PUSTAKA

Dahar, Ratna Wilis. 1988. Teori – Teori Belajar. Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.

Djaali. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara..

Elliott, Stephen N , dkk. Tanpa tahun. Educational Psychology. Second edition. United States of America: Times Mirror Higher Education Group.

Gazda, George M, dkk. 1980. Theories Of Learning A Comparative Approach. Itasca : Peacock Publishers.

Mahmud, Dimyati. 1990. Psikologi Pendidikan suatu pendekatan Terapan. Yogyakarta: IKIP.

Syah, Muhibbin. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta : Raja Grafindo Persada.


Sunday, May 24, 2009

American University of Beirut

Education 326

Book Report

On

Book: "DEVELOPING A QUALITY CURRICULUM"
by Allan A. Glatthorn

Report submitted to:
Dr. R. Ghusayni

By:
Lina Darwiche

Spring 2001


Summary
“Developing A Quality Curriculum” is a highly organized informative book that lays down the guidelines for obtaining a “total quality curriculum” as quoted by the author of this book (A.G., p.3). It was divided in a way that suits the reader’s understanding and pattern of thinking. The book explains elaborately the entire organization groups involved in curriculum work, the building of foundations and components of a district curriculum, the support and implementation of the curriculum, and finally the development and auditing of the school and classroom curriculum. Thus, we can say that it is mainly divided into two parts. The first part deals with foundations, while the second part tackles curriculum development in the school and the classroom.

After introducing the reader to the different chapters in the book the author starts from scratch or square one where he explains who and which parties are involved in the managing the organization and planning of curriculum work. There are several teams included in the formation of a district curriculum. Every member plays an integral part but the Curriculum Planning Council and the Task Forces assume the biggest role. The Curriculum Planning Council “serves as the chief management group for identifying curriculum needs, developing a curriculum calendar, evaluating the curriculum, and appointing and monitoring the work of task forces.” (A.G., p.10) The Curriculum Task Forces, on the other hand, accomplish most of the work of curriculum development. Definitely there are other groups helping the Curriculum Planning Council and the Task Forces. In addition to that and before shifting to the actual laying of foundations the author also explains the generation of a general long-term plan and a specific project plan. The general long-term plan “is developed by the Curriculum Planning Council” (A.G., p.12) then the Task Forces prepare the detailed project plans and reviewed by the Curriculum Planning Council.

After the assignment of the organization system, the real work starts. The Curriculum Planning Council takes the initiative by laying the three foundations of the district curriculum. The three foundations are: the district’s curriculum policy, goals, and vision of a curriculum of excellence. These foundations set the limits, aspirations and the desired outcomes of the curriculum under development. The curriculum policy lays the regulations and laws to what should be taught in schools, the goals propose the outcomes of desire, and the vision serves as a union of the different efforts towards a common dream. Although the laying of these foundations demands the cooperation of all the organization system, it must occur under the leadership of the Curriculum Planning Council in order to have a unified outcome. Once the foundations are set the action of renewing or developing a new district’s K-12 curriculum guide in a particular subject area need to take place. To renew a curriculum refers to revising and modifying the existing one and to develop one is to produce an original curriculum. Of coarse, there are multiple ways in which a curriculum can be created. However, before starting the whole process the elements that will determine the whole work have to be known since they shape the whole process. The major work here is performed by the joint effort of the Curriculum Planning Council and the Task Forces. They have to lay down the elements since they shape the whole work; they are the small pieces that give us a full view of the whole big picture.
Some of these elements include State frameworks and guidelines, teacher recommendations and research on child and adolescent development. This is part one of the big picture. Part two is to know what will be produced whether it was a summary, a framework, a list or any other kind of material. Part three is the division of roles. Specific roles need to be assumed by different members of the organization teams. The different members need to be trained and finally the material to be used determined. The development of a mastery curriculum is a detailed step-by-step process. Here I need to clarify what a mastery curriculum is and to differentiate from the kinds of curricula. All curricula are analyzed under two constructs, which are “importance and structure.” (A.G., p.27) A mastery curriculum has high importance and high structure. An organic curriculum has high importance but low structure. This is not it; there are two other types of curricula. The teacher-determined enrichment curriculum is of low importance and high structure and finally the student-determined enrichment curriculum is of low importance and low structure. Although not all educators welcome the idea of a mastery curriculum, this book tackles its development and renewal. The teachers of different subject areas write down the other types of curricula individually. Now back to developing a new mastery curriculum. As I mentioned earlier, it is a highly organized process. First the goals are identified and aligned with the subjects, State frameworks are analyzed, goals are refined, a knowledge base report is prepared, hallmarks of excellence and the curriculum framework are developed, the strands are identified, a chart is developed, then the curriculum materials are outlined, the curriculum guide is developed, the guide is evaluated, and finally the way of distributing it is determined. (A.G., p. 34-45) These steps are very elaborate and need time. However, if the availability of resources were scarce, a district would rather renew the existing curriculum rather than developing a new one. Renewal involves revising the goals and the rest of the elements of the guide and updating the knowledge base.

The work doesn’t stop at distributing the curriculum guide since now it needs support. Aligning the curriculum, creating supporting material, and monitoring it obtain support. Aligning the curriculum deals with aligning the written, the tested and the supported curricula. Supporting material is used in order aid administrators and teachers. Monitoring the curriculum can be done through a variety of ways. Making informal observations and analyzing test scores are two ways.

Now we shift to developing a school curriculum, which requires effective leadership tasks. The principal has to provide support for teachers in curriculum work and based on the new curriculum form the school’s own goals and visions. In coordination with the school’s developed curriculum a classroom curriculum is created. Teachers can do it individually or in teams. Here the issue of integration pops to educators. There are different ways of integration. Subjects can be integrated while keeping them separate or two or more subjects can be integrated. Both methods can be performed in different ways but both need the coordination between the teachers of different subject areas. Then in writing down the syllabus teachers need to pinpoint where they are using integration. While developing a syllabus teachers first need to have a portrait of the year, then identify the titles of the units to be taught, next allocate the time needed for instruction, and finally systematize the decisions in the syllabus. However, whether or not teachers create a syllabus, they have to have a yearly plan. They will never escape this task. These plans indicate what will be taught, when it will be taught, and for how long it will be taught. If a syllabus already exists then it can be recorded in the yearly calendar. The only difference is that the yearly plans delineate the weeks of the school year and the major events happening during that academic year.

The book ends at emphasizing the importance of conducting a curriculum audit to ensure quality. First an audit team has to be selected the audit criteria need to be identified and the issues need to be specified. Finally after conducting the audit (of coarse the staff would be oriented about it) an audit report, including the design, the criteria and recommendations for actions, is prepared. The results of the audit are used to improve the quality of learning and thus modify the curriculum where modification is required.


Critique
“Developing A Quality Curriculum” is a highly organized book. It can be easily used when a district intends to create or renew its curriculum. It exhausts all the processes that take place in developing a quality curriculum. In other words the title completely fits the content of the book. Everything is fully explained. I don’t think it has major gaps. This doesn’t mean that it doesn’t have its weak points. I will start by exposing the strengths of this book but I will also mention what I didn’t like.

First of all the book is divided in a very clear way that doesn’t loose the reader. It helps the reader form a very coherent set of mind since the author doesn’t wander from one topic to another. The author also explains every unfamiliar term. I found this very feasible because creating a good curriculum is a serious matter thus whoever is involved in it need to be up to it. In addition to being coherent the language is very clear. The processes are stated in steps in order to make the whole activity as easy going as possible. Its aim is to make educators’ work easier and its format complies with the aim.

What I didn’t like about it was the dryness of the subject. Although the issues discussed are clear, they could’ve been supported with real life examples thus adding life to the book. The book has so much information but it leaves no room from creativity. Everything is spoon-fed. It lacks life. For this reason I had trouble finishing it. It is also too restricted with the district. I guess I am saying that since we don’t have this is Arab countries. It is the district’s curriculum. It is too American, for example “If your district is in a state that doesn’t mandate the use of state goals, you should develop your own goal list.” (A.G., p.21) this book can confuse its users who are not Americans. This is a turn-off.

Another point that I didn’t like in the book is the emphasis given to the mastery curriculum while overlooking the other types of curricula. I don’t think that this is smart. The students need to have a wider view regarding the world they live in. Then again maybe I misunderstood the author’s purpose. He might have not suggested the format of creating the other kinds of curricula in order to give the school and the teachers, depending on their students’ needs and abilities, the freedom to create them. I hope so. What I also didn’t like is the fact that I had an expectation before reading that book. I have no reason to build such anticipation but regardless I had it. I thought that the book is going to show us a real creation of a curriculum rather than the mere explanation of the steps.

The section I liked most in the book is developing the school curriculum and the classroom syllabus because I have hands-on examples of them. I think this is exactly why I felt unresponsive with the previous chapters much. I didn’t feel involved; I guess I need to get more involved. I was relating to the chapter on school syllabus more than any chapter.

Finally, despite its drawbacks this book is very useful. It is clearly divided, coherent, and realistic. However, if the Lebanese Ministry of Education plans to adopt a new curriculum, they can’t simply take everything in it. We can rely on the information in this book but we can’t simply take it in without careful selection and studying. We have to keep in our minds that our background and our goals are not similar even though a well-rounded education seems to unify every country’s aim while developing a curriculum.

Tuesday, April 28, 2009

READING COMPREHENSION: THEORIES AND STRATEGIES

INTRODUCTION
The main purpose for reading is to comprehend the ideas in the material. Without comprehension, reading would be empty and meaningless. In our practicum, we have all witnessed cases where students are capable of reading the words, but face much difficulty in expressing their comprehension of the main ideas. An example of this occurrence was a second grade boy named Reggie who loved to read but had difficulty in comprehending what he read. Reggie would eagerly read to an audience since he had a solid grasp of phonemic awareness (sounding out words) and social discourse (reading with expression). When tested by the Reading Specialist, Reggie was placed in a relatively low level reading group. This was due to his inability to demonstrate comprehension of the reading material. This was shocking to the teacher, as he appeared to be a strong reader.
As Students, we need to have an understanding of the theories behind reading comprehension, as well as a working knowledge of some important strategies that can be used in the classroom to increase reading comprehension. In this paper, we are going to focus on three important theories on reading comprehension: the Schema Theory; Mental Models, and the Propositional Theory, and four categories of strategies to improve reading comprehension based on these theories: Preparational, Organizational, Elaboration, and Monitoring.
THEORY
Gunning (2006) identifies three main theories of reading comprehension. These theories are Schema Theory, Mental Models, and Proposition Theory.
Schema Theory
Gunning (2006) defines a schema as the organized knowledge that one already has about people, places, things, and events. Kitao (2003) says the schema theory involves an interaction between the reader’s own knowledge and the text, which results in comprehension. This schema, as Gunning defined, can be very broad, such a schema for natural disasters, or more narrow, such as a schema for a hurricane. Each schema is "filed" in an individual compartment and stored there. In attempting to comprehend reading materials, students can relate this new information to the existing information they have compartmentalized in their minds, adding it to these "files" for future use. Based on the Schema Theory, depending on how extensive their "files" become, their degree of reading comprehension may vary.
Mental Model Theory
Another major theory we would like to discuss is the Mental Model. This model can be thought of as a mind movie created in one's head, based on the reading content. Gunning gives a detailed description of this process, stating that a mental model is constructed most often when a student is reading fiction. The reader focuses in on the main character and creates a mental model of the circumstances in which the character finds him or herself. The mental model is re-constructed or updated to reflect the new circumstances as the situation changes, but the items important to the main character are kept in the foreground according to Gunning, (2006).
Perkins (22005) identifies that sometimes misconceptions about important concepts reflect misleading mental models of the topic itself or the subject matter within which it sits. There are, however, interventions the teacher can do to help the reader to stay on track and create a more accurate picture. One suggestion is for the teachers to ask the students to disclose their mental models of the topics in question, through analogy, discussion, picturing, and other ways. This information gives the teacher insight on the student's knowledge gaps and misconceptions, therefore allowing them to help students reconstruct a more accurate picture.
Proposition Theory
The final explanation of comprehension we would like to discuss is the Propositional Theory. This involves the reader constructing a main idea or macrostructure as they process the text. These main ideas are organized in a hierarchical fashion with the most important things given the highest priority to be memorized (Gunning, 2006).
STRATEGY
Katims (2001) stated that learning strategies are techniques, or routines that enable students to learn to solve problems and complete tasks independently. A strategy is an individual’s approach to a task. Gunning (2006) identifies four main types of comprehension strategies, which include Preparational, Organizational, Elaboration and Monitoring.
Preparational
Gunning (2006) describes Preparational strategy as those that activate prior knowledge about a particular topic. This method is used to get students thinking about the topic they are about to work on. It is much easier to retain knowledge about a subject when the student is familiar with the subject area.
Gunning (2006) identifies predicting as a type of Preparational strategy which involves previewing parts of the text to be read. The portions of text, which are helpful in previewing, can be pictures, titles, or the cover of the book. As the students are thinking about what will happen based on their knowledge of the subject and the book, they focus their thoughts on the assignment to come, which leads to better comprehension.
Organizational
Gunning (2006) describes Organizational strategies as the process of selecting important details and building relationships from them. These strategies include: identifying the main idea and topic sentences, classifying information, deciding which information is relevant, sequencing and summarizing. Each of these strategies is complex and methods for improving them need to be taught starting from basic ideas and gradually getting more difficult. Summarizing, in particular, has been identified as a difficult skill to develop.
Elaboration
Gunning (2006) refers to elaboration strategy as an additional processing of the text, by the reader, which may increase comprehension. It involves forming connections between the text and the reader’s background knowledge of the subject. Making inferences, picturing images and asking questions are all types of elaboration strategies.
Huffman (2000) identifies K-W-L as an elaboration strategy, which connects background knowledge to the topic to be addressed. K-W-L is an acronym for the three steps of the procedure: describing what we Know, what we Want to know, and what we Learned. The first two steps are completed before the project has begun, to assess background information, and the third step is completed afterward to make the connections.
Monitoring
Gunning (2006) defines monitoring strategy as being aware of one’s own mental process when reading. Monitoring is an advanced technique that involves a great deal of independent thinking. Monitoring occurs when a reader is aware that they do not understand what was just read. The act of monitoring is knowing how to go back and find a way to gain understanding of the topic. Monitoring is knowing when to use the three other types of reading comprehension strategies.



CONCLUSIONS
According to the Proposition theory, the student is forming a mental model in their mind as they are forming the macrostructure. Forming a schema is the most basic comprehension tool used by students. As they become more advanced, they can build on their base of schemas and create mental models throughout the reading. The most complex comprehension tool is forming a series of propositions, which are constantly updated throughout the text.
The four types of strategies previously discussed can be seen as more independent of each other than the theories, although a student is not able to apply the most complex strategy until they have a base of the more simplistic strategies. Preparational strategies happen before the actual reading takes place, and are incorporated in the Schema theory. Organizational strategies take place during and after the text is read. These strategies are based on both the Mental Model theory and the Proposition Theory. Elaboration strategies can take place before, during and after reading, and therefore, are dependent on all three major comprehension theories. Monitoring strategies are the most complex and involve mostly the Propositional theory. These strategies should take place primarily as the reading is taking place.








REFERENCES
Armstrong, Thomas. (2004). Multiple Intelligences in the Classroom. Chapter 6
Gunning, Thomas G. (2006). Creating Reading Instruction for All Children. Chapter 6.
Huffman, Lois E. (2000). Spotlighting Specifics by Combining Focus Questions With K-W-L. Journal of Adolescent and Adult Literacy, Issue 6, 470-471.
Katims, David S. (2001. Improving the Reading Comprehension of Middle School Students in Inclusive Classrooms. Journal of Adolescent and Adult Literacy, Issue 2, 116-124.
Kitao, Kathleen S. (2003. Textual Schemata and English Language Learning. Cross Currents, Issue 3, 147-155.
Perkins, D.N. (2005). Educating for Insight. Educational Leadership. Issue 2, 4-9.

Tuesday, March 31, 2009

ANALISIS DATA KUALITATIF

Pendahuluan

Tugas seorang peneliti tidak hanya sampai pada selesainya penelitian, tetapi ia mempunyai tugas selanjutnya yaitu mengolah data, menganalisis data, menginterpretasikan data, yang kemudian menulisnya dalam bentuk laporan penelitian, mempresentasikan dan mempublikasikan penelitian. Tugas ini sangat mulia, karena karena dengan dipublikasikan hasil penelitiannya, akan bermanfaat bagi masyarakat luas.

Setelah selesai penelitian, data (kasar) yang diperoleh harus diolah terlebih dahulu. Pilihlah data yang menjawab hipotesis, permasalahan dan tujuan penelitian, sedangkan data lainnya dapat disimpan untuk keperluan lain. Data kasar dapat disederhanakan, ditabulasikan atau bentuk-bentuk lain agar mudah dianalisis. Data yang telah diolah dan disederhanakan kemudian dianalisis. Analisis data yang dipilih tentunya jenis analisis yang mampu menjawab hipotesis, permasalahan dan tujuan penelitian. Data yang telah dianalisis kemudian disajikan bisa dalam bentuk tabel, gambar, ilustrasi atau bentuk-bentuk lainnya.

Dalam penelitian sosial, data yang diperoleh pada umumnya berupa data kualitatif, sehingga dalam pengolahannya sedikit berbeda dengan penelitian eksakta. Data atau informasi yang diperoleh dipilih. Data atau informasi yang dipilih adalah data atau informasi menjawab hipotesis, perumusan masalah, pertanyaan penelitian atau tujuan penelitian. Pilih analisis data yang tepat untuk menjawab hal di atas.

Analisis Data

Analisis data merupakan bagian yang amat penting dalam metode ilmiah, karena dengan analisislah, data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian (Nazir, 1988). Data mentah yang telah dikumpulkan selama penelitian perlu dipecah-pecah dalam kelompok-kelompok, diadakan katagorisasi, dilakukan manipulasi serta diperas sedemikian rupa sehingga data tersebut mempunyai makna untuk menjawab masalah dan bermanfaat untuk menguji hipotesis. Manipulasi terhadap data mentah berarti mengubah data mentah tersebut dari bentuk awalnya menjadi suatu bentuk yang dapat dengan mudah memperlihatkan hubungan-hubungan antara fenomena.

Setelah data disusun dalam kelompok-kelompok serta hubungan-hubungan yang terjadi dianalisis, perlu dibuat penafsiran-penafsiran terhadap hubungan antara fenomena yang terjadi dan membandingkannya dengan fenomena lain di luar penelitian.

Ada beberapa langkah dalam pengolahan data yaitu: a) editing, b) mengkode data: kode dan jenis pertanyaan/pernyataan, tempat kode; c) membuat tabulasi, d) menganalisis data.

a. Editing

Sebelum data diolah, data tersebut perlu diedit lebih dahulu. Data atau keterangan yang telah dikumpulkan dalam buku catatan, daftar pertanyaan atau pada pedoman wawancara perlu dibaca sekali lagi dan diperbaiki. Jika masih terdapat yang salah atau yang masih meragukan perlu dilakukan revisi. Artinya, pada tahap ini anda meningkatkan kualitas data.

Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan:

a) apakah data sudah lengkap dan sempurna?
b) Apakah data sudah cukup jelas tulisannya untuk dapat dibaca?
c) Apakah semua catatan dapat dipahami?
d) Apakah semua data sudah cukup konsisten?
e) Apakah data cukup seragam?
f) Apakah ada data yang tidak sesuai?

b. Mengkode data

Data yang dikumpulkan dapat berupa angka, kalimat pendek atau panjang, ataupun hanya ”ya” atau ”tidak”. Untuk memudahkan analisis, maka jawaban-jawaban tersebut perlu diberi kode. Pemberian kode-kode kepada jawaban sangat penting artinya, jika pengolahan data dilakukan dengan komputer.

Pemberian kode dapat dilakukan dengan melihat jenis pernyataan, jawaban atau pertanyaan. Dalam hal ini dapat dibedakan: a) jawaban yang berupa angka, b) jawaban dari pertanyaan tertutup, c) jawaban pertanyaan semiterbuka, d) jawaban pertanyaan terbuka, e) jawaban pertanyaan kombinasi.

c. Membuat tabulasi

Membuat tabulasi termasuk dalam kerja memproses data. Membuat tabulasi tidak lain dari memasukkan data ke dalam tabel-tabel dan mengatur angka-angka sehingga dapat dihitung jumlah kasus dalam berbagai kategori.

d. Menganalisis data

Analisis adalah mengelompokkan, membuat suatu urutan, memanipulasi serta menyingkatkan data sehingga mudah untuk dibaca. Jenis analisis data yang dipilih hendaknya yang mampu menjawab hipotesis, pertanyaan penelitian, perumusan masalah atau tujuan penelitian. Anda dapat menganalisis data dengan bantuan statistik atau alat analisis lainnya. Pada prinsipnya, semuanya itu hanyalah alat untuk membantu anda dalam menganalisis. Jika anda salah dalam memilih jenis analisis data, maka besar kemungkinan tujuan penelitian anda tidak akan tercapai.

Kesimpulan

Analisa data dalam penelitian kualitatif bersifat induktif dan berkelanjutan yang tujuan akhirnya menghasilkan pengertian-pengertian, konsep-konsep dan pembangunan suatu teori baru, contoh dari model analisa kualitatif ialah analisa domain, analisa taksonomi, analisa komponensial, analisa tema kultural, dan analisa komparasi konstan (grounded theory research).
Pendekatan kualitatif banyak memakan waktu, reliabiltasnya dipertanyakan, prosedurnya tidak baku, desainnya tidak terstruktur dan tidak dapat dipakai untuk penelitian yang berskala besar dan pada akhirnya hasil penelitian dapat terkontaminasi dengan subyektifitas peneliti.



Daftar Pustaka

Amirin, T. M. 1995. Menyusun Rencana Penelitian. PT Raja Grafindo Pustaka, Jakarta.

Haryanto, A. G., H. Ruslijanto dan D. Mulyono. 2000. Metode Penulisan dan Penyajian Karya Ilmiah. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.

Malo, M. 1997. Metode Penelitian Sosial. Universitas Terbuka, Jakarta.

Mariani, I. R. dan J. Kuncoro. 2001. Teknik Mencari dan Menulis Berita. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka. Jakarta.

Mullins, C. J. 1980. The Complete Writing Guide to Preparing Reports, Proposals, Memos, Etc. Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs, NJ.

Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Rifai, M. A. 1995. Pegangan: Gaya Penulisan, Penyuntingan, dan Penerbitan Karya Ilmiah Indonesia. UGM Press. Yogyakarta.

Santoso, U. 2006. Merancang Penelitian Berskala Nasional. Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah. Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu. Bengkulu.

Santoso, U. 2007. Tips Praktis Menulis Karya Ilmiah Internasional. Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu. Bengkulu.

Winarto, Y. T., T. Suhardiyanto, dan E. M. Choesin. 2004. Karya

PANDANGAN FILSAFAT DALAM PENDIDlKAN

A. PENDAHULUAN

Menurut Elias & Sharan Merriam (1984: 1) telaah tentang cikal-bakal akar perkembangan filsafat dimulai dart filsafat klasik yang didominasi oleh filsuf-¬fitsuf Yunani. Meskipun demikian, pelibatan pemikiran kefilsafatan dalam bidang kependidikan baru dimulai pada abad ke-19, yaitu dipelopori oleh Immanuel Kant dan Hegel. Lebih dari itu, filsafat pendidikan baru dipandang sebagai suatu disiplin keilmuan yang terpisah dari filsafat pada abad ke-20 dipelopori oleh John Dewey.

Berdasarkan permasalahan tersebut, dalam makalah singkat ini dibahas:

1. Apa pandangan klasik tentang manusia sebagai homo educandu ?
2. Apa pemikiran tentang Dewey berkaitan dengan pandangan filsafat dalam pendidikan?
3. Bagaiman kedudukan filsafat dalam pandangan-praktis kependidikan misalnya dalam perencanaan kurikulum kependidikan?

B. PANDANGAN FILSAFAT DALAM PENDIDIKAN

1. Pandangan Kefilsafatan Klasik terhadap Hakikat Pendidikan bagi Manusia
Dalam pandangan kefilsafatan klasik, manusia memiliki serangkaian predikat, misalnya manusia sebagai homo ethicus, homo sapiens, homo aesthethicus. homo symbolicum, dan sebagainya. Salah satu predikat manusia adalah sebagai homo educandum, yaitu makhluk pendidikan.

Pengertian homo educandum menyiratkan adanya tiga subpredikat lainnya, yaitu horno educandee also mahkluk terdidik, homo educabile atau makhluk yang dapat dididik, dan homo educandum atau makhluk pendidikan. Oleh sebab itu, pendidikan bagi manusia adalah usaha dalam rangka memanusiakan manusia dan memanusiawikan manusia.
2. Peranan Pemikiran Kefilsafatan bagi Pendidikan
Menurut Tyler (1949: 1) setiap program pendidikan hendaknya memiliki rumusan tujuan yang jelas. Untuk merumuskan tujuan pendidikan, ada empat sumber pemikiran yaitu: (1) filsafat kependidikan yang komprehensif, (2) para spesialis bidang keilmuan yang relevan, (3) psikolog, dan (4) sosiolog.
Lebih lanjut, Tyler (1949) menyatakan bahwa dalam merancang rumusan tujuan pendidikan, pemikiran filsafat kependidikan berada pada posisi terdepan, pada first screen. Pada lapis berikutnya adalah pemikiran dari para spesialis bidang keilmuan. Sistematika yang lazim dikembangkan dalam perumusan tujuan: (1) filsafat umum dan sosial menggarisbawahi apa tujuan pendidikan yang pada umumnya dikaitkan dengan penyiapan anak didik sebagai anggota masyarakat yang ideal, (2) filsafat pendidikan menggarisbawahi apa-apa yang seharusnya dirumuskan sebagai tujuan pendidikan, (3) lembaga terkait hingga ke jajaran sekolah dan komite mengembangkan rumusan tujuan tersebut.

Pada umumnva, nilai-nilai yang akan dituju dan relevan dengan kenyataan masyarakat di luar sekolah adalah: (1) pengembangan kesadaran terhadap tentang pentingnya setiap individu sebagai manusia yang tidak saja terikat oleh status suku, bangsa, sosial, dan ekonomi, (2) lebih mengembangkan kemungkinan individu untuk berpartisipasi dalam masyarakat, (3) lebih mengembangkan keberagaman dibandingkan dengan terpaku pada satu sosok kepribadian, dan (4) lebih mementingkan kemampuan individu dalam pemecahan masalah dibandingkan atas dasar otoritas suatu kelompok otokratis maupun aristokratis.
3. Perubahan Aliran Filsafat dan Dampaknya terhadap Pandangan Kependidikan
Dalam pandangan pragmatisme Dewey, segala sesuatu di dunia ini mengalami perubahan. Yang tetap hanya satu hal, yaitu perubahan itu sendiri. Perubahan, termasuk aliran kefilsafatan, juga berdampak terhadap perubahsan pandangan kependidikan_
Menurut Fagerlind dan Lawrence J. Saha {1996_ 26-27) secara teoretis ada empat model sikap manusia terhadap perubahan. Keempat model itu adalah (1) Teori Siklus Mask, (2) Teori Agustine, (3) Teori Linear, dan (4) Teori Siklus¬Linear.

Teori Siklus Klasik dirumuskan sesuai dengan kecenderungan masyarakat mitis bahwa dunia ini bangkit dari suatu keadaan, berkembang, mencapai puncak, menurun, dan akhirnya musnah. Saat awal adalah awal peradaban manusia, puncak adalah modernisme peradaban manusia, dan titik akhir adalah dunia kiamat. Dalam menyikapi perubahan tersebut, mausia cenderung pasrah.
Teori Agustine dirumuskan sesuai dengan pandangan Kristiani klasik bahwa dunia berubah sesuai dengan siklus-siklus yang berkelanjutan dari kebangkitan, mencapaii puncak, dan kembali ke kehancuran. Teori ini juga dikenal dengan teori kepasrahan-diri. Manusia dipandang bukan sebagai pelaku, tetapi sebagai objek perubahan.

Teori Linear dimmuskan sesuai dengan pandangan radikal-liberal dan op¬timistis bahwa dunia berkembang terus mencapai suatu puncak kejayaan yang merupakan utopi setiap manusia. Manusia dipandang sebagi penentu perubahan, siapa yang tidak terlibat dalam perubahan tersebut akan tergilas.
Teori Siklus Limear dirumuskan sesuai dengan pandangan humanisme mo¬deren bahwa perubahan itu berlangsung terus menuju suatu masa kejayaan, namun setiap perubahan tidak selalu berawal dari kekosongan, tidak bersifat radikal. Per¬ubahan cenderung linenr namun memberikan jejak jejak spiral karena ada hal-hal yang berulang pada masa sebelumnya meski pengulangan itu tidak persis sama dengan kondisi masa sebelumnya. Dengan kata lain, perubahan bersifat maju ber¬kelanjutan.

a. Esensialisme
Kaum esensialis memandang bahwa pendidikan hendaknya hanya mengembangkan hal-hal yang esensial saja bagi siswa. Hal-hal esensial tersebut tentu tergantung pada beberapa hal pokok, di antaranya ideologi-politik dan sosiologis.
Kritik terhadap pandangan kaum esensialis pun berkembang. Di antaranya kritik terhadap adanya kenyataan bahwa: (1) hal-hal yang esensial itu bersifat relatif, (2) haI-hal yang esensial itu cenderung dipandang esensial oleh sekelompok orang (dewasa) tapi belum tentu esensial dalam pandangan siswa, dan (3) dalam kenyatam masyarakat di luar sekolah orang-orang mampu melakukan hal-hal yang bukan hal-hal esensial yang diajarkan di sekolah.

b. Perenialisme
Di negara Barat, perenialisme merupakan filsafat pendidikan tertua dan paling bertahan lama. Alirann ini dikenal dengan berbagai nama seperti humanisme klasik (classical humanism), humanisme rational (rational humanism), pendidikan liberal (liberal education), atau pendidikan umum (general education). Aliran iini berkembang pada tahun 1450-1850 di Eropa oleh tokoh-¬tokoh seperti Erasmus, Thomas More, dan Ignatius Loyola.
Dalam pandangan kaum perenialis, pendidikan hendaknya diarahkan untuk menghasilkan pemikir-pemikir tangguh, manusia berbudaya, serta mampu memenuhi tuntutan dalam dunia baru dikaitkan dengan perkembangan komersial dan tata peradilan. Pendidikan liberal ini sangat mementingkan pendidikan rasional atau intelektual. Pendidikan tentang kebijaksanaan (wisdom) memang diberikan tetapi wisdom dimaknai: (l) secara praktis adalah kemampuan untuk mengaplikasikan informasi dan pengetahuan dalam aktivitas kehidupan sehari¬-hari, dan (2) secara teoretis adalah suatu kontemplasi tentang pemikiran terdalam prinsip-prinsip subjek pemikiran dan penyusunan kembali hubungan serta keterkaitannya dengan bidang lain. Dengan kata lain, secara teoretis wisdom adalah pencarian kebenaran tentang situasi manusia dan dunia. Tidak mengherankamz pengaruh pemikiran perenialis terhadap pendidikan memicu kolonialisme, kapitalisme, dan homo homini lopus (manusia itu srigala bagi sesamanya, Thomas Hobbes). Bahkan dalam pandangan berikutnya untuk mengatasi kebuasan manusia, dalam Leviathan, dinyatakan bahwa kekuasaan negara hendaknya bersifat absolut.

c. Rekonstruksionisme
Rekongruksionisme adalah aliran filsafat pendidikan yang mengembang¬kan pradigma bahwa pendidikan pada dasamya dikembangkan untuk mem¬perbaiki masyarakat. Lembaga pendidikan merupakan ajang penyiapan individu agar mampu berperan serta aktif dan mengambil bagian dalam memperbaiki masyarakat. Oleh sebab itu, pendidikan hendaknya bersifat memiliki tujuan yang jelas (ends-means) dan dalam perumusan tujuan tersebut aspek kehidupan masyarakat di luar sekolah merupakan salah satu acuan. Da1am bidang kurikulum, Ralph W Tyler dan Hilda Taba merupakan contoh tokoh yang menganut pandangan rekonstruksionisme (Nunan. 1988: 16).
Unsur-unsur kehidupan nyata yang lazim dipertimbangkan dalam perumusan tujuan kependidikan sekolah adalah: (1) kesehatan, (2) keluarga, (3) rekreasi, (4) keterampilan vokasional, (5) agama, (6) konsumsi, dan (7) kewarganegaraan. Virginia State Curriculum (Tyler, 1949: 20) mengindikasikan 12 topik kehidupan nyata yang Iazim dipertimbangkan dalam perumusan tujuan kependidikan sekolah, yaitu: (1) perlidungan dan pelestarian kehidupan, (2) sumber-sumber daya alam, (3) produksi kebutuhan pokok, pelayanan, dan distribusi, (4) konsumi materi dan pelayanan, (5) komunikasi dan transportasi materi dan manusia, (6) rekreasi, (7) kebutuhan ekspresi estetis, (8) kebutuhan ekspresi religius, (9) pendidikan, (10) pemekaran kebebasan, (11) integrasi individual, dan (12) eksplorasi.
Kritik terhadap pandangan sekonstruksionisme pun berkembang. Salah satu kritik tajam terhadap penganjur rekonstruksionisme adalah tudingan bahwa kaum reskonstruksionis terlalu menekankan kepada hasil (product) dan cenderung mengabaikan proses. Seharusnya, sejalan dengan perkembangan spesifikasi dan spesialisasi keahlian dalam kehidupan nyata, hendaknya aspek proses, terutama metodologi pembelajaran, hendaknya diperhatikan secara proporsional, sebanding dengan perhatian terhadap aspek hasil.

d. Progresivisme
Aliran progresif atau progrevisme berkembang sejalan dengan pergerakan progresif di bidang politik, perubahan sosial, dan pendidikan. Aliran ini lebih menekankan pada keterkaitan antara pendidikan dengan masyarakat, pendidikan yang berpusat pada pengalaman, pendidikan vokasional, dan pendidikan demokratis. Tokoh-tokoh yang dikenal sebagai penganjur progresivisme adalah William James, John Dewey, dan William Kilpatrick.
Menurut Russel (2004: 1066) John Dewey lahir pada tahun 1859 dan sama halnya dengan William James, Dewey berasal dari New England (AS). Pada tahun 1899, Dewey menulis buku The School and Society. Dewey menentang konsep kebenaran sebagai sesuatu yang final. Menurut Dewey, pengkajian tentang kebenaran itu hendaknya lebih dikaitkan dengan proses evolusioner dalam pemikiran manusia. Oleh sebab itu- kebenaran yang objektif akan dapat ditemukan melalui penyelidikan. Dewey mengembangkan pemikiran induktif dalam konteks metode ilmiah.
Dewey juga terlibat aktif pada setiap perkambangan progresivisme. Menurut Elias & Sharan Merriam (1984: 49-50) sebenarnya aliran progreif ini berkembang dalam tiga tahap.
Pada tahan pertama, aliran progresif lebih menekankan pada pengembangan pendekatan yang berpusat pada anak dalam dunia pendidikan. Hal itu terlihat dalam buku School and Society dan The School of Tomorrow. Pandangannya sejalan dengan J.J Rousseau, Pestalozzi dan Froebel. Tokoh¬ tokoh ini berpandangan bahwa tugas utama sekolah adalah mengembangkan potensi anak, dan secara khusus dirumuskan. "memfasilitasi dan memperkaya pertumbuhan individual anak".
Pada tahap kedua, Dewey lebih menekankan bahwa sekolah hendaknya berperan dalam reformasi sosial dan rekonstruksi sosial (identik dengan rekonstruksionisme). Pandangan Dewey tercermin dalam bukunya yang berjudul Democracy and Education. Dalam cakupan yang lebih luas, sekolah hendaknya memiliki peran utama bagi pengembangan demokrasi, sains, evolusi, dan industrialisme. Secara tajam, Dewey mengatakan bahwa pendidikan akan berkembang mulus jika berlangsang di tempat yang demokratis dan demokrasi akan berkembang jika ada pendidikan yang benar (sejati).
Pada fase ketiga Dewey kembali menekankan perlunya pengalaman. Pada tahun 1938 Dewey menulis buku Experience and Education Dalam buku ini, Dewey mengecam pendidikan yang berpusat kepada mata pelajaran (subject¬centered) atau pendidikan tradisional maupun pendidikan yang progresif dan terpusat pada anak. Ungkapan learning by doing (juga dinyatakan Jerome Brunner learning by experiencing) menggambarkan ide Dewey tentang perlunya pengalaman dalam pembelajaran. Dalam kaitannya dengan peran serta masyarakat, Dewey menganjurkan, "The methods of critisism, full public inspection, and testing became the moral principles to guide educational work".
4. Pandangan Ontologis, Epistemologis, dan Aksilogis dalam Pendidikan
Berdasarkan uraian di atas, sebenarnya sudah tergambar secata tersirat pandangan ontoiogis, epistemologis, dan, aksiologis dalam pendidikan. Aliran filsafat tertentu yang ditempatkan sebagai pioneer pengembangan kependidikan memberikan sumbangan ontologis terhadap pendidikan, yaitu dalam perumusan landasan, tujuan, sekaligus mengisyaratkan apa subject matter yang akan dicapai dan kembangkan oleh lembaga kependidikan.
Sumbangan epistemologis terkait dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengembangan aspek metodologi pembelajaran. Aspek metodologis terkait dengan apa pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang digunakan sesuai dengan karakteristik tuiuan yang telah digariskan (aspek ontologis) dan karakteristik materi atau subject matter yang telah ditetapkan. .
Sumbangan aksiologis terkait dengan anutan dan acuan nilai-nilai yang dituju atau diharapkan dicapal sesuai dengan pengalaman pembelajaran (learning experiences) (aspek epistemologis) dalam rangka pencapaian tujuan yang telah digariskan (aspek ontologi.r).Pandangan aksiologis juga bukan hanya dikaitkan dengan pencapaian tujuan dan metode pengembangan pengalaman pembelajaran, tetapi juga dikaitkan dengan aspek manajerial lembaga pendidikan.
Meskipun demikian, rumusan-rumusan kefilsafatan yang bermuatan konsep ontologis, episetmologis, dan aksiologis sangat bergantung pada penentu kebijakan, pelaksana, dan pihak-pihak terkait dalam bidang kependidikan. Pengalaman menunjukkan, misalnya berkaitan dengan pemberlakuan kurikulum dan pendekatan pembelajaran yang sarat dengan muatan filosofis dan psikologis seperti pendekatan CBSA (Kurikulum 1975), Keterampilan Proses (Kurikulum 1984), Pendekatan Komunikatif (Kurikulum 1994), dan Pendekatan Kontekstual (Kurikulum 2004), ternyata ketika diterapkan di Indonesia cenderung banyak mengandung dan mengundang pendangkaian. Merujuk pendapat Prayitno (1984: 5-6). jika Arti yang Diberikan dari Luar (ADL) ternyata tidak sejalan, timpang, bahkan bertentangan dengan Arti Dari Dalam (ADD), maka akan terjadi kesalahartian dengan berbagai akibatnya. Kenyataan empiris menunjukkan bahwa ketimpangan ADL dengan ADD berkaitan dengan penerapan berbagai pendekatan mengakibatkan ketercapaian tujuan pendidikan semakin kabur_

C. KESIMPULAN
Uraian dalam makalah singkat ini menggambarkan bahwa dalam pandangan kefilsafatan manusia memang memerlukan pendidikan. Filsafat pendidikan memberikan sumbangan, terutama dalam perumusan tujuan pendidikan. Meskipun demikian, jika dirunut lebih jauh, filsafat pendidikan juga memberikan sumbangan terhadap pendidikan, baik dalam hal perumusan tujuan, perencanaan dan pengembangan proses pembelajaran hingga pelaksanaan evaluasi dan pemberian umpan balik. Di samping itu, aliran kefilsafatan pendidikan juga mempengaruhi corak sumbangsih filsafat pendidikan terhadap pendidikan, baik yang bersifat ontologis, epistemologis, maupun aksiologis

DAFTAR PUSTAKA
,
Elias, John L & Sharan Merriam. 1,984. Philosophical Foundations of Adult Education. Florida: Robert E. Krieger Publishing Company.

Fagertind, Ingemar & Lawrence J Saha. 1996. Education and National Development: A Comparative Perspective. Toronto: Pergamon Press.

Nunan, David. 1988. The Learner-Centred Curriculum. Cambridge: Cambridge
University Press.
Prayitno. 1984. "Gatra dalam Pendidikan dan Bimbingan". (Pidato Itmiah pada Kegiatan Dies Natalis ke-XXX, 31 Agustus 1984). Padang: IKIP Padang.


Russell, Bertrand. 2004. Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosio¬Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang. (Diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko, dkk)_ Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset_

Tylor, Ralph W. 1949. Basic Principles of Curriculum and Instruction. Chicago: The Chicago Press

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites